BERSIAP MENJEMPUT KEMENANGAN DI PEMILU 2014

Kamis, 05 Juni 2008

RAPOR MERAH KINERJA WALIKOTA SURABAYA : Pandangan Ahmad Jabir

Jawapos.co.id Kamis, 05 Juni 2008,
Di Balik Rapor Merah Paripurna Istimewa DPRD Surabaya

Akibat Dispenduk dan Dispendik Tidak Sinkron

Oleh: Ahmad Jabir, anggota MPW PKS Jawa Timur

Sidang paripurna istimewa DPRD Surabaya pada 3 Juni lalu yang berlangsung panas dan tegang adalah sesuatu yang wajar. Mengingat, agenda paripurna tersebut membahas rekomendasi DPRD terhadap laporan keterangan pertanggungjawaban wali kota sebagai kepala daerah dalam rangka pelaksanaan tugasnya selama setahun (2007).

Mengapa wajar jika ketegangan itu terjadi? Agenda tersebut berpotensi memunculkan dua kubu penyikapan terhadap LKPj wali kota yang berhadap-hadapan. Sebagai wakil rakyat yang, antara lain, punya tugas pokok mengawasi pemerintah, kepala daerah menjalankan program pemerintah daerah dan menggunakan APBD.

Maka, akan muncul sekelompok anggota dewan yang karena dorongan rasa tanggung jawab terhadap amanah rakyat sebagai perwakilan mereka kemudian mengkritik secara tajam dan mendasar. Sementara itu, sebagai konsekuensi logis sistem pemerintahan kita yang menganut paham negara demokrasi, untuk bisa menjadi wali kota, seseorang harus diusulkan oleh partai. Jadi, akan muncul pula anggota DPRD yang tidak rela begitu saja wali kota yang diusungnya mendapatkan kritik tajam dari anggota DPRD lain. Apalagi, kritik dan catatan tersebut mengarah pada penilaian rapor merah.

Sebenarnya, kejadian seperti paripurna pada Selasa lalu itu pernah terjadi pula saat paripurna istimewa setahun lalu, yang dilaksanakan oleh DPRD dengan agenda yang sama. Sekadar mengingatkan, tahun lalu ketika paripurna istimewa untuk rekomendasi terhadap LKPj wali kota 2006, terjadi ketegangan antara anggota DPRD dari Fraksi PDIP dengan anggota DPRD fraksi lain yang berbuntut munculnya berbagai interupsi dan skorsing sidang serta walk out (WO)-nya anggota DPRD dari FPDIP. Bedanya sekarang, yang WO dari paripurna adalah yang dari non-FPDIP, meskipun muatan penyebabnya adalah sama.


Database Kota sebagai Akar Masalah

Ketegangan pada paripurna adalah buntut pencermatan DPRD terhadap LKPj wali kota yang cenderung bermasalah dalam penyajian data-data. Poin-poin yang dipertanggungjawabkan menuai pertanyaan yang tidak sedikit. Repotnya lagi, bermasalahnya data-data yang disajikan ternyata tidak bisa dijawab dengan jelas dan objektif oleh pemerintah kota supaya bisa diterima oleh DPRD.

Tidak jelas mana data yang valid dan yang salah. Jika merujuk silang data kependudukan yang ditampilkan dengan data-data sektor lain, didapatkan banyak ketidaksinkronan. Yang mencolok, antara lain, terkait dengan kesra (kesejahteraan rakyat). Yaitu, data tentang kependidikan dan ketenagakerjaan.

Kalau dicermati, data-data itu memang bisa sangat membingungkan. Data tersebut adalah data yang disampaikan oleh wali kota dalam laporan kinerjanya selama 2007 (dokumen LKPj wali kota 2007). Data sebagaimana tabel di atas tentu diambil dari SKPD yang berkompeten dalam bidangnya.

Sebagai contoh, lihat data kependidikan. Perlu dipahami bahwa di Indonesia, usia 7 tahun wajib masuk SD, sedangkan usia 6 tahun diperbolehkan masuk SD. Karena itu, di Surabaya, untuk pendaftaran di SDN, diutamakan yang berusia 7 tahun. Lalu, baru sisanya boleh dimasuki oleh yang berusia 6 tahun. Sehingga, wajib belajar 12 tahun (enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA) mengandung konsekuensi bahwa usia 7 s/d 18 tahun adalah usia wajib belajar.

Usia sekolah adalah usia antara 6 s/d 18 tahun. Perlu juga diketahui bahwa di Surabaya, kepedulian dan kesadaran masyarakat/orang tua terhadap pendidikan usia dini sangat besar. Rata-rata, anak berusia 6 tahun sudah siap memasuki pendidikan di SD. Sebab, pendidikan usia dini rata-rata dilakukan untuk anak usia 4 s/d 5 tahun.

Data yang disajikan oleh dinas pendidikan (dispendik) menyebutkan, usia sekolah di Surabaya pada 2007 berjumlah 492.495 anak (akumulasi dari SD/MI = 270.076, SMP/MTs = 114.733, dan SMU/SMK/MA = 107.686). Validitas data tersebut patut dipertanyakan. Sebab, jika dilihat dari data kependudukan yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan (dispenduk), usia 6 s/d 16 tahun saja sudah berjumlah 492.490 anak.

Jumlah itu sudah hampir sama dengan data anak usia sekolah yang diklaim oleh dinas pendidikan. Tepatnya, terdapat selisih lebih sedikit saja, yakni lima anak. Jika data dispenduk tersebut ditambah usia 17 s/d 18 tahun dengan perkiraan jumlahnya 2/3 dari usia 17-19 tahun, ada tambahan 80.812 anak lagi yang berada dalam usia sekolah. Jadi, jumlah anak usia sekolah bisa mencapai 573.302 anak. Itu kan angka yang jauh lebih besar daripada angka anak usia sekolah yang diklaim oleh dinas pendidikan, yakni 492.495 anak.

Karena itu, penyajian data oleh dinas pendidikan bisa sangat menyesatkan dan merugikan. Jika selama ini dinas pendidikan merencanakan pendidikan dengan mengacu data-data tersebut, tidak mengherankan bila perencanaannya tidak akurat dan menyisakan banyak persoalan.

Kondisi itu juga menunjukkan betapa masih sangat kentalnya ego sektoral antarsatuan kerja pemerintah daerah (SKPD). Sehingga, akurasi data yang mestinya bisa diselesaikan dengan sinkronisasi melalui koordinasi antar-SKPD, dalam hal ini dinas pendidikan dan dinas kependudukan, tidak dilakukan. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Kalau kebiasaan seperti itu diteruskan, kota bisa "hancur".

Selanjutnya, juga perlu dipertanyakan metode dinas pendidikan dalam mengumpulkan data anak usia sekolah tersebut. Bagaimana cara menghimpunnya. Apakah melalui pencacahan langsung dari rumah ke rumah atau bagaimana? Itu kelihatan sepele. Tetapi, jika tidak dibenahi, hal tersebut bisa merugikan masyarakat.


Empat Langkah Solusi

Jika tidak ingin memiliki budaya bersitegang tahunan sebagaimana paripurna istimewa kemarin, juga kalau ingin pembangunan kota ini memiliki arah dan progres yang benar sehingga tidak merugian masyarakat, ada empat langkah yang harus dilakukan. Bukankah usia kota ini sudah cukup tua (715 tahun) untuk bisa belajar dari pengalaman perjalanannya.

Pertama, Pemerintah Kota Surabaya harus melakukan transparansi data dengan melakukan transparansi pencacahan sampai penyajian kepada publik. Sehingga, dalam perbedaan data yang ditampilkan oleh LKPj wali kota, bisa terlihat letak kesalahannya. Mengingat, data tersebut berkaitan dengan leporan kinerja wali kota selama setahun. Jika tidak dilakukan serta kalau LKPj memuat data yang tidak valid dan tidak akurat, bisa muncul dugaan pengelabuan publik.

Kedua, pemerintah kota harus melakukan koordinasi sinkronisasi data secara serius. Karena itu, sebagaimana kasus yang saya contohkan tersebut, dua dinas itu harus segera dipanggil oleh wali kota untuk dimintai pertanggungjawaban agar tidak memunculkan ketidakpercayaan publik.

Ketiga, ke depan, semestinya dinas pendidikan dan SKPD lain menjadikan data kependudukan yang dikeluarkan oleh dispenduk sebagai acuan. Sehingga, tidak ada dua data yang saling berbeda. Dispenduk bisa menyajikan data penduduk berdasar usia tanpa mengelompokkannya dalam kelompok umur rentang usia, melainkan kelompok umur per usia sehingga mudah dilihat. Saya yakin dispenduk punya itu. Tinggal apakah dinas pendidikan selama ini berpikir meminta data tersebut.

Keempat, kalau dinas pendidikan dan SKPD lain mau kerja keras dan sungguh-sungguh untuk kepentingan SKPD-nya, dia bisa melakukan verifikasi. Kalau empat langkah itu dilakukan, saya yakin tidak terjadi perbedaan data yang sangat merugikan publik seperti sekarang. Wallohu a’lam.... (*)

ARSIP NASKAH