BERSIAP MENJEMPUT KEMENANGAN DI PEMILU 2014

Kamis, 27 Desember 2007

Sikap Ahmad Jabir terhadap APBD Surabaya 2008

Penyusunan APBD 2008 Fungsi Penganggaran DPRD Buruk
Anggaran, 13/12/2007 10:11:52
Oleh Ahmad Jabir-Surya, 12 December 2007
jabir-pks.org

Paling tidak ada empat kegiatan yang harus melibatkan DPRD dalam proses penyusunan APBD, yaitu penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), penyusunan Perioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Pembahasan Raperda Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) dan Sosialisasi Perda APBD. Saat ini di beberapa daerah, proses penyusunan APBD 2008 sampai pada tahap pembahasan Raperda APBD.

Di Surabaya tahapan penyusunan APBD 2008 telah selesai di tetapkan di paripurna DPRD dan tinggal menunggu evaluasi gubernur atas perda APBD 2008 yang telah ditetapkan dalam paripurna beberapa waktu yang lalu. Sampai tahap ini, banyak catatan yang menunjukkan betapa fungsi penganggaran DPRD begitu lemah. Ada tiga kelemahan penting yang terjadi.

Pertama, kelemahan proses penyusunan KUA. Tujuan pembangunan daerah adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal ini tercapai jika kebutuhan dasar rakyat dapat dipenuhi pemerintah daerah. Karena itu, rencana pembangunan daerah dan KUA harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Agar KUA sesuai kebutuhan rakyat, Pemerintah Kota Surabaya harus mencari masukan dari rakyat melalui kegiatan yang disebut Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan sampai dengan kota. Pada saat sama DPRD harus mencari masukan dari masyarakat dengan kegiatan Jaring Asmara.

Persoalannya adalah dari tiga kali kegiatan Jaring Asmara yang ditetapkan sebagai rencana kerja DPRD oleh pimpinan DPRD sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPRD tidak satupun dilaksanakan dalam tahun 2007. Yang lebih aneh lagi adalah ada empat fraksi dari lima fraksi yang ada (FKB, FKD,FDK, dan FPAN) yang secara aktif mendesak dilaksanakannya Jaring Asmara tetapi sekian kali pembahasan dilakukan untuk mengagendakan Jaring Asmara selalu berakhir dengan ketidak jelasan.

Maka tidak aneh jika banyak anggota DPRD Surabaya yang geregetan dengan ungkapan “masak empat Fraksi tidak bisa mengalahkan satu fraksi, ada apa ini?”
Oleh karenanya ini menjadi kenyataan bahwa ketika Panggar DPRD menyetujui dokumen KUA yang diajukan oleh Pemkot Surabaya, tentunya tidak memiliki referensi resmi masukan masyarakat terkait dengan KUA ini.

Kedua, kelemahan seputar penyusunan PPAS yang memuat program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program dan kegiatan sebagai acuan dalam menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) SKPD. Keterlibatan DPRD membahas dan menyetujui dokumen PPAS yang merupakan penjabaran dari KUA, terdapat beberapa kelemahan mendasar.

Ada kesamaan kelemahan yang terjadi di DPDRD baik dalam pembahasan KUA maupun pembahasan PPAS. Ada tiga catatan penting seputar pembahasan KUA-PPAS ini. Pertama, belum samanya pemahaman posisi strategis KUA-PPAS dari anggota DPRD entah karena disengaja sebagai sikap/manuver politik atau memang benar-benar tidak tahu. KUA-PPAS ini bukan sekadar tataran teori dan konsep tapi sampai pada menentukan batas anggaran yang dialokasikan pada masing-masing sektor dan SKPD.

Kedua, proses pembahasan KUA-PPAS yang penting dan strategis ini tidak didasarkan pada kebutuhan riil rakyat. Pembahasan KUA yang menjadi dasar perumusan PPAS harus berpedoman pada kebutuhan rakyat di samping berpedoman pada RPJMD, RENSTRA-SKPD, RKPD, Kinerja tahun lalu, dan kesenimbungan pembangunan daerah. Mestinya DPRD Surabaya belajar dari daerah lain. Mengapa DPRD Surabaya tidak mencontoh DPRD Gorontalo, Samarinda, dan kabupaten Purwakarta yang mampu menyusun KUA-PPAS dengan baik.

Gorontalo secara terprogram menugaskan setiap anggota DPRD melakukan Jaring Asmara ke seluruh daerah pemilihan untuk penyusunan KUA dengan membagi empat tim. Di Surabaya aneh, kita membahas KUA tanpa bahan aspirasi masyarakat, lalu kita ini mewakili siapa?

Karena beberapa kekurangan itulah maka pembahasan KUA-PPAS mestinya didahului sosialisasi Rancangan KUA-PPAS yang baik dalam bentuk public expose oleh pemkot maupun public hearing dalam pembahasan di DPRD sebagai solusinya. Namun kenyataannya itupun tidak terjadi saat pembahasan Rancangan KUA-PPAS sampai ditetapkannya dalam paripurna.

Alasan ketiga adalah terlalu dipaksakan pembahasan KUA-PPAS dalam waktu yang sangat singkat sehingga tidak memberikan ruang pada keterlibatan publik dan DPRD untuk lebih cermat. Dua dokumen penting diselesaikan tiga hari! Kalau eksekutif tidak mau melakukan public expose dengan alasan tidak mau ribet dan direcoki masyarakat, maka itu wajar karena selama masa Orde Baru mental mereka di-setting bukan sebagai pelayan masyarakat, tapi sebagai penguasa masyarakat.

Nah, kalau DPRD kemudian memiliki alasan yang sama sehingga tidak mengagedakan public hearing dalam pembahasan dokumen rancangan KUA-PPAS, maka ini keterlaluan. Bukankah DPRD ini memang perwakilan mereka, kenapa harus menghindari masyarakat?
Ketiga, kelemahan seputar pembahasan Raperda APBD. Lemahnya DPRD melibatkan masyarakat juga terjadi dalam pembahasan RAPBD. Ini dikarenakan alasan klasik yakni waktu yang sangat sempit. Semestinya RAPBD disosialisasikan kepada masyarakat jauh-jauh hari sebelum pembahasannya di DPRD agar memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penetapan APBD tersebut.

Melihat kenyataan itu, DPRD kurang responsif. Mestinya jika pemerintah kota tidak maksimal dalam public expose, DPRD harus mengambil peran penting. Misalnya dilakukan paripurna istimewa untuk sosialiasi RAPBD kepada masyarakat atau mempublikasikan di media secara utuh resume RAPBD lengkap dengan Resume KUA dan PPASnya. Tetapi ini juga tidak terlaksana.

Lemahnya DPRD dalam membahas RAPBD juga disebabkan tidak semua SKPD bisa menyajikan RKA-SKPD secara detail, rinci dan jelas. Sehingga kesulitan bagi DPRD melihat sejauh mana kegiatan-kegiatan yang diajukan SKPD memiliki relevansi yang cukup kuat dengan KUA-PPAS yang telah ditetapkan. Di sisi lain, dokumen RKA tersebut selalu diberikan dalam waktu yang sangat singkat yakni saat pembahasan dilakukan di tingkat komisi.

Kelemahan lain yang terjadi adalah dengan waktu yang sangat sempit dalam pembahasan RAPBD, ternyata tidak semua anggota DPRD memiliki semangat yang sama untuk mengambil seluruh waktu yang tersedia demi mengoptimalkan pelaksanaan fungsi penganggaran dengan baik. Sudah waktu sedikit, diambil hanya sebagian, maka apa mungkin bisa cermat?

Terakhir, sebagai bukti buruknya fungsi dan peran DPRD dalam penganggaran, khususnya APBD 2008, di antaranya adalah realita yang menunjukkan bahwa pada detik-detik terakhir pembahasan di panitia anggaran muncul anggaran “siluman” yang diajukan pemerintah kota yang tidak berangkat dari KUA dan PPAS, bahkan RKAnya saja juga tidak ada dan tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat komisi sebelumnya. Repotnya lagi, jumlah anggaran tersebut tidaklah sedikit, yakni Rp 35 miliar.

Ahmad Jabir
Ketua Komisi D DPRD Surabaya
Anggota MPW PKS Jawa Timur

ARSIP NASKAH