BERSIAP MENJEMPUT KEMENANGAN DI PEMILU 2014

Jumat, 14 Desember 2007

Sikap Akhmad Suyanto tentang Raperda Rokok

Pembahasan Raperda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) telah dimulai di Panitia Khusus (Pansus) DPRD Surabaya. Uniknya ,nasib perda ini tak hanya ditentukan perdebatan (publik) tentang penting tidaknya perda ini bagi masyarakat secara keseluruhan, namun secara khusus juga mencermati nasib para perokok pasif, lingkungan, atau pabrik tokok. Yang mungkin jarang diketahui umum, nasib perda ini ternyata juga ditentukan oleh hasil akhir pertarungan sengit antara anggota dewan yang perokok dan non-perokok di pansus.

oleh: M. Subchan Sholeh, Surabayapost

Sebuah pesan singkat (SMS) masuk ke ponsel Surabaya Post akhir Agustus 2007 lalu. Isinya, “Gara-gara pasang poster, saya diprotes teman-teman.” SMS itu berasal dari Akhmad Suyanto, anggota Panitia Khusus (Pansus) DPRD Surabaya tentang Raperda KTR dan anggota Komisi A (Hukum dan Pemerintahan) DPRD Surabaya. Tanpa buang waktu, Surabaya Post menuju ruang Komisi A untuk melihat poster dimaksud.

Poster berwarna yang dipasang di dinding itu memang mengerikan. Di dalamnya digambarkan tubuh seorang perokok yang mengidap berbagai penyakit. Mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Tertera pula keterangan jenis penyakit yang diderita seorang perokok. Dari yang ringan seperti rambut rontok sampai penyakit kelas berat seperti jantung dan delapan jenis kanker. Gambar kerusakan yang dialami organ-organ tubuh akibat rokok ditampilkan sangat jelas dalam poster yang jarang dipublikasikan itu.

Di bagian paling atas tertera tulisan, “Menurut WHO, setiap 6,5 detik, satu orang meninggal karena rokok. Riset memperkirakan orang yang mulai merokok pada usia remaja dan terus merokok selama dua dekade atau lebih akan meninggal 20-25 tahun lebih awal daripada orang yang tidak merokok.”

Rupanya poster ini adalah oleh-oleh pansus dari kunjungan mereka ke Departemen Kesehatan (Depkes) beberapa waktu lalu. Suyanto sengaja memasangnya untuk mengingatkan rekannya yang perokok agar berhenti merokok. Poster yang sama sebenarnya cukup sering ditemui di sejumlah kantor yang mulai sadar bahaya rokok. Tapi, dia malah diprotes rekannya. Meski begitu, poster itu tetap terpasang. Belakangan, poster itu dijadikan sarana untuk menyindir anggota pansus yang merokok. Tentu saja yang menyindir adalah anggota pansus yang tidak merokok. Misalnya, Sekretaris Pansus Raperda KTR Masduki Toha. Politisi PKB ini kerap menyindir dua rekannya yang perokok berat, Indra Karta Menggala dan Syukur Amaludin.

“Menurut WHO, setiap 6,5 detik seorang perokok modar (meninggal),” seloroh Masduki. Yang disindir hanya tersenyum kecut sambil menggerutu.

Dalam rangka mengamankan masyarakat dari berbagai bahaya akibat merokok, Pemkot Surabaya mengajukan Rapeda KTR, medio Agustus lalu. Selain itu, pemkot ingin menekan perokok pemula dan melincungi perokok pasif.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) dr Esty Martiana, pengajuan raperda itu tidak dimaksudkan untuk melarang orang merokok. “Raperda itu untuk mengatur dan melindungi orang yang tidak merokok,” katanya.

Secara umum, raperda ini mengatur tempat-tempat tertentu sebagai KTR. Antara lain, sarana kesehatan, tempat pendidikan, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Di dalam KTR, setiap orang bukan hanya dilarang merokok, tapi juga dilarang memproduksi, menjual, sampai mempromosikan rokok.

Khusus larangan merokok di tempat pendidikan dan arena kegiatan anak, Esty punya argumentasinya. Kata Esty, itu untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Yakni, pemakaian narkoba. “Akhir-akhir ini, pemakai narkoba makin banyak dan semua berawal dari kecanduan rokok,” ujar Esty.

Sudah Jelas

Tujuan dan alasan diajukannya raperda ini sangat baik. Tapi, pembahasannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di awal pembahasan saja, pertentangan sudah mulai terlihat. Utamanya, kubu perokok dan non-perokok di pansus. Kubu perokok berat antara lain Syukur Amaludin (wakil ketua pansus), Krisnadi Nasution, Indra Karta Menggala, dan Agus Kadarisman, Sebaliknya, kubu non-perokok terdiri dari Retna Wangsa (ketua pansus), Akhmad Suyanto, Masduki Toha, Erick Reginal Tahalele, M. Jazid, dan Wahyudin Husein.

Adalah Syukur Amaludin yang membuat pembahasan raperda ini menghangat. Bagi dia, raperda KTR ini seharusnya digabungkan saja dalam isi Raperda Pengendalian Pencemaran Udara yang juga telah diajukan pemkot ke DPRD untuk dibahas. Menurut dia, penerapan larangan merokok di sejumlah kawasan tertentu di Jakarta ternyata dijadikan satu bab dalam Perda Pengendalian Pencemaran Udara.

Selain itu, lanjut dia, penyumbang terbesar polusi udara adalah asap kendaraan bermotor dan industri. Asap rokok hanya menjadi penyumbang terkecil. Krisnadi Nasution mendukung pendapat Syukur. Bagi Krisnadi, isi raperda ini lemah karena tidak didukung hasil riset yang membuktikan jika polutan terbesar adalah asap rokok.

“Termasuk hasil penelitian yang menyebutkan kalau banyaknya penderita gangguan pernafasan disebabkan oleh asap rokok,” kilahnya.

Akhmad Suyanto menentang pendapat itu. Suyanto mengatakan, larangan merokok di kawasan tertentu di Jakarta justru gagal karena hanya diatur dalam satu bagian di Perda Pengendalian Pencemaran Udara. Ia menambahkan, raperda ini hanya mencoba mengatur perokok untuk tidak sembarangan merokok di wilayah-wilayah publik sehingga meracuni mereka yang tidak merokok.

“Apalagi polusi udara di ruang tertutup terus meningkat gara-gara perokok yang nekat merokok di ruang ber-AC,” gusarnya.

Lain lagi dengan Wahyudin Husein yang pesimistis raperda ini bisa diterapkan efektif di lapangan. Bahkan, ia menyarankan agar raperda KTR ditarik dulu untuk diperbaiki kekurangannya. Politisi PKB ini mengatakan, melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok merupakan niat yang baik.

“Hanya saja, dari sisi legal drafting, raperda ini banyak kelemahan. Bisa saja nanti pansus memutuskan untuk mengembalikan raperda ini untuk disempurnakan agar bisa efektif saat diterapkan,” kata Wahyudin.

Menurut dia, akan sangat sulit membatasi orang merokok di luar KTR. Ditambah lagi, ada orang tertentu yang baru bisa bekerja saat sedang merokok. Di sisi lain, produsen rokok makin gencar melakukan promosi di media massa.

Sebaliknya, Erick Reginal Tahalele menyatakan, langkah pemkot mengatur kawasan khusus tanpa rokok dalam sebuah raperda merupakan langkah maju. Bagi dia, masyarakat berhak atas udara bersih dan segar yang tidak tercemar asap rokok. “Kalau ini akan diatur dalam perda, konsekuensinya harus ada petugas khusus yang mengawasi dan menindak kalau ada pelanggaran. Ini hanya masalah teknis yang bisa dicari solusinya,” papar politisi Partai Golkar itu.

Sengitnya pembahasan raperda KTR ini juga menarik perhatian Ketua Komisi D (Kesejahteraan Rakyat) DPRD Surabaya Ahmad Jabir. Bagi Jabir, parpol harus bersikap tegas dengan mewajibkan anggotanya di DPRD untuk menerima raperda ini. Selain itu, masyarakat juga harus mengontrol komitmen parpol agar bersikap postif dan bijaksana dengan mendukung raperda ini.

“Raperda ini sangatlah mulia dan alasannya sudah jelas. Tidak perlu diperdebatkan lagi kecuali oleh orang-orang yang memang tidak ingin tercipta lingkungan yang sehat,” pungkasnya. (*)

sumber : surabayapost, 5-10-2007

ARSIP NASKAH